Hadi Mulyadi (Fam Tek Fong) - ░▒▓█▀▄Forza★Persija▄▀█▓▒░
Headlines News :
Home » , » Hadi Mulyadi (Fam Tek Fong)

Hadi Mulyadi (Fam Tek Fong)

Written By ForzaPersija on Tuesday, December 13, 2011 | 12/13/2011 12:08:00 PM


Fan Tek Fong alias Hadi Mulyadi alias Mulyadi (lahir di Serang, 19 September 1943 – meninggal 30 Januari 2011 pada umur 67 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1960an. Pada masanya, Ia dikenal sebagai pemain belakang yang andal. Ia pernah memperkuat tim nasional PSSI, UMS, Persija, Pardedetex, dan Warna Agung.


Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960 Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah Dokter Endang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Endang tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963. Tek Fong kemudian pindah ke klub Pardedetex Medan pada tahun 1969.

Saat Dokter Endang dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Risdianto, Surya Lesmana, Yakob Sihasale, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.


Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Dokter Endang adalah pelatih ketika Tek Fong memperkuat UMS, Persija Jakarta, Warna Agung, dan tim nasional PSSI. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.

Tek Fong tidak jauh dari Dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan Dokter. Ketika Dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian.

Tek Fong masih teringat ajaran-ajaran yang diberikan Dokter Endang. Dokter Endang selalu mengingatkan agar Tek Fong bersikap jujur, tidak berbohong, dan memelihara pertemanan dengan baik. Ia baru menyadari pertemanan yang dimaksud ketika Dokter memindahkannya dari Persija ke Pardedetex Medan pada 1969. Ternyata Dokter sudah berteman dengan T.D. Pardede ketika pengusaha Medan itu mendirikan klub Pardedetex.


Setelah 12 tahun menjadi pemain sepak bola, Tek Fong kini menjadi salah satu pelatih Sekolah Sepak Bola Union Makes Strength (UMS), klub sepak bola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Saya ingin menghabiskan masa tua di sini," katanya. Ia adalah sedikit dari banyak pemain nasional etnis Tionghoa yang masih tersisa.

Sebagian mimpi lelaki dengan dua anak ini kini terwujud. Tek Fong sangat bangga ketika memperkenalkan Robo Solissa, yang bermain untuk klub UMS, anggota Divisi Utama Persija Jakarta. Nyong Ambon itu adalah hasil didikannya selama tiga tahun di Sekolah Sepak Bola UMS di Petak Sinkian.

Tek Fong tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan saat membesarkan meteor bola baru. "Jangan tanya saya punya apa dari sepak bola," katanya. Kebanggaan baginya tak bisa dikalahkan dengan apa pun, bahkan dengan uang. Lelaki yang hampir setiap hari berada di lapangan Petak Sinkian itu memang tak punya apa-apa. Hidupnya jauh dari mentereng. Lelaki itu cukup puas hidup dengan kebanggaan.

Beristirahatlah Dalam Damai, Fan Tek Fong!



Sepakbola Indonesia kembali kehilangan salah seorang bintang masa lalunya. Fan Tek Fong, yang kemudian dikenal dengan nama Hadi Mulyadi, 67 tahun, telah berpulang pada Minggu (30/1) malam karena serangan jantung. Almarhum adalah salah seorang pemain besar pada zamannya, sebagaimana teman-teman seangkatannya yang telah mendahuluinya pergi, seperti Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Yakob Sihasale.

Fan Tek Fong, lahir di Serang, Banten, 19 September 1943, adalah salah satu bintang timnas Indonesia era 1960-an dan 1970-an. Belajar sepakbola secara serius sejak usia 10 tahun di bawah bimbingan pelatih nasional legendaris (alm) Endang Witarsa, Tek Fong memulai karir fenomenalnya di klub UMS Petak Sinkian, sebelum kemudian bergabung dengan Persija Jakarta. Ia kemudian sempat bermain untuk Pardedex, Medan, walau kemudian kembali ke Jakarta memperkuat klub Warna Agung.

Minggu malam itu, sekitar pukul tujuh, Tek Fong tengah bersenda-gurau bersama sejumlah kerabat dan sahabarnya setelah sama-sama bersantap di sebuah kedai di bilangan Petak Sinkian, Jakarta Barat. Ia, menurut penuturan salah seorang kerabatnya, sempat tertawa terpingkal-pingkal menanggapi celoteh yang berkembang. Namun, derai tawanya tak sampai habis. "Kami kaget karena tiba-tiba saja tawanya terhenti," kata kerabatnya.

Tek Fong, ayah dari dua orang anak dan tiga cucu, kemudian sempat dilarikan ke RS Husada di kawasan Mangga Besar. Akan tetapi, Tuhan sudah memanggilnya sebelum sempat menjalani perawatan.

Saat ini, jenazah Fan Tek Fong masih disemayamkan di Ruang C RS Husada itu. Pihak keluarganya memastikan, almarhum akan dikremasi pada Rabu (2/2) sekitar pukul 10.00 wib. Tadi malam, ruang duka di RS Husada disesaki puluhan kerabat dan sahabat almarhum yang datang untuk memberikan penghormatan, termasuk pemain-pemain senior seangkatannya yang masih sehat, seperti Risdianto, Renny Salaki, Surya Lesmana.

"KIta kehilangan salah seorang bintang besar yang banyak berjasa pada persepakbolaan nasional," ungkap Sekjen PSSI Nugraha Besoes, yang terakhir bertemu almarhum saat berlangsungnya AFF Suzuki Cup bulan Desember lalu. "Dia pemain besar yang sangat bersahaja, tidak sombong, mudah diajak bicara oleh orang yang usianya jauh dibawah dia sekalipun," ujar Nugraha Besoes yang sudah mengenal Tek Fong sejak puluhan tahun silam.

Almarhum Tek Fong memang seorang bintang yang amat bersahaja. Jika tak sedang mendidik anak-anak remaja di lapangan Petak Sinkian, almarhum Tek Fong beberapa hari dalam seminggu bisa dijumpai di kantor sekretarist PSSI di kawasan Senayan. Almarhum betak berjam-jam berada di kantor PSSI, untuk bersenda-gurau dan berbagi cerita masa lalu dengan Idrus, karyawan paling senior di PSSI yang amat dikenalnya.

DELAPAN TAHUN DI TIMNAS

Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960, Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah DokterEndang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Almarhum Endang Witarsa tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang Witarsa dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963.

Saat dokter Endang Witarsa dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Yacob Sihasale, Risdianto, Surya Lesmana, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.

Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.Tek Fong tidak jauh dari dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan dokter. Ketika dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian. Selama masa hidupnmya Tek Fong berjuang keras untuk menjalani dengan baik apa yang telah diajarkan dokter Endang Witarsa kepadanya, yakni dengan senantiasa bersikap jujur, tidak boleh menyimpan rasa iri dan dengki pada orang lain, menjalani hidup apa adanya, dan memelihara pertemanan dengan baik.

Oleh karena itulah, Tek Fong tetap merasa nyaman di masa tuanya, tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan dari masa lalunya. Kebanggaan itulah yang membuat ia masih bisa merasa tenang dan selalu bisa bersikap easy going saja, walau kehidupan kesehariannya amat bersahaja.



Share this article :